Hari Musik Nasional, Antara Kedaulatan Musik Indonesia dan Digitalisasi

Hari Musik Nasional, Antara Kedaulatan Musik Indonesia dan Digitalisasi – Tanggal 9 Maret merupakan peringatan Hari Musik Nasional. Namun, tahun ini rasanya lebih “istimewa” dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Apa sebab?

Belum lama ini, industri musik nasional dan para pecinta musik Tanah Air ramai membahas usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan. Alih-alih mendapat sambutan hangat, rancangan beleid justru mendapat kecaman. www.benchwarmerscoffee.com

RUU itu justru dipandang tak mengakomodasi para pemangku kepentingan, termasuk musisi. Akhirnya, usulan RUU itu pun ditarik kembali oleh anggota Komisi X DPR—yang juga musisi—Anang Hermansyah. slot88

Hari Musik Nasional, Antara Kedaulatan Musik Indonesia dan Digitalisasi

“Saya selaku wakil rakyat yang berasal dari ekosistem musik, wajib hukumnya menindaklanjuti aspirasi dari stakeholder. Seperti halnya ketika mengusulkan RUU Permusikan, juga berpijak pada aspirasi dan masukan dari stakeholder. Ini tahapan konstitusional yang lazim dan biasa saja,” ucapnya dalam pernyataan resmi.

Anang mengharapkan bahwa situasi di ekosistem musik kembali kondusif dan dapat berembuk dengan kepala dingin atas persoalan yang muncul.

Perkembangan industri musik juga mengikuti perkembangan teknologi secara keseluruhan. Seluruh pegiat musik harus menerima fakta bahwa proses digitalisasi di ranah olah suara sudah merambah luas.

Ini menjadi tantangan yang harus dihadapi dan diperlakukan dengan strategi khusus. Belum lagi, masalah pembajakan karya musik, yang tampaknya masih terus terjadi.

Perkembangan pada dunia digital yang merambah sektor musik tidak serta merta membawa keuntungan bagi para pegiat musik di Indonesia. Sedikitnya pendapatan yang dihasilkan dari digitalisasi musik menjadi salah satu sebabnya.

Sekarang ini, untuk mendengar musik masyarakat tak harus membeli karya musisi dalam bentuk fisik seperti kaset, CD, atau vinyl. Cuma dengan mengunduh aplikasi streaming musik seperti Spotify, Joox, atau Deezer, karya-karya band atau musisi seluruh dunia bisa dinikmati langsung dari gawai atau laptop pribadi.

Untuk mengakses berbagai layanan penyedia streaming musik tersebut, pengguna tidak harus berlangganan. Mereka bisa mendengar musik dari berbagai artis tanpa perlu mengeluarkan biaya, meski ada iklan yang harus didengar jika biaya langganan tak dikeluarkan.

Kehadiran sejumlah layanan streaming musik ini pun sudah bisa dinikmati masyarakat Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Banyak musisi dan band dari Indonesia yang juga sudah memasukkan karya-karyanya ke berbagai layanan streaming musik.

Walau mempermudah distribusi dan cara menikmati karya musik, ternyata belum banyak keuntungan yang diterima musisi dari perkembangan dunia digital, termasuk dalam hal materi.

Manajer Band Seringai Wendi Putranto mengatakan keuntungan yang dihasilkan dari penjualan musik melalui dunia digital masih tak sebanding dengan penghasilan dari produk fisik.

“Apabila dari live music, tur, itu pendapatannya masih sama. Sehingga dapat untuk dikatakan kesejahteraan para pegiat musik di era digital yang dihasilkan dari musik rekaman belum terlalu besar dan sebanding dengan era fisik dulu,” tuturnya kepada Bisnis,

Rendahnya pendapatan pegiat musik di era digital salah satunya disebabkan banyaknya pelanggaran terkait pembayaran performing rights, atau hak atas penggunaan karya musisi di media televisi, radio, atau tempat-tempat komersial.

Hari Musik Nasional, Antara Kedaulatan Musik Indonesia dan Digitalisasi

Menurut Wendi, performance rights selama ini belum maksimal dibayarkan dan dipungut oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Padahal, ada begitu banyak penggunaan karya musisi di tempat-tempat komersial atau tayangan televisi serta siaran radio.

“Memang sudah ada beberapa pihak yang bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan musisi seperti Bekraf [Badan Ekonomi Kreatif], terus Komisioner dari LMKN. Cuma, sampai saat ini belum maksimal kerja mereka,” paparnya.

Penarikan dan distribusi royalti atas penggunaan karya musik, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menjadi tanggung jawab LMK. Lembaga itu adalah badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait untuk mengelola hak ekonomi mereka.

Di Indonesia, ada delapan LMK yang beberapa di antaranya sudah berdiri belasan, bahkan puluhan tahun.

Ada tiga LMK Hak Cipta yang bertugas mengumpulkan serta membagikan royalti kepada pencipta lagu. Lalu, 3 LMK Hak Terkait untuk membagikan royalti kepada artis dan 2 LMK Hak Terkait yang bertugas membagikan royalti kepada produser rekaman.

Semenjak UU Hak Cipta terbit, pengumpulan dan pembagian royalti atas penggunaan karya musik dikoordinasikan LMKN, yang baru berdiri pada 2015.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Bekraf, sumbangan subsektor musik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri kreatif pada 2016 hanya 0,48% dari total PDB sebesar Rp922,59 triliun.

Namun, survei ekonomi kreatif Bekraf-BPS 2017 menunjukkan bahwa subsektor ini masuk dalam empat besar subsektor dengan pertumbuhan tertinggi. Musik pun tumbuh 7,26% berada di urutan kedua setelah desain komunikasi visual yang naik 10,26%.

Belum Maksimal

Wendi menganggap aturan mengenai royalti dan jaminan atas kesejahteraan pemusik sebenarnya sudah cukup memadai selama ini.

Dia menyebut keberadaan aturan soal musik dalam sejumlah aturan seperti UU Hak Cipta, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak Karya Rekam, dan draf RUU Ekonomi Kreatif. Tetapi, implementasi atas aturan yang ada dipandang belum maksimal.

“Itu yang menurut saya harus ditegakkan. Sehingga ada law enforcement dalam pasal-pasal di berbagai UU tersebut. Ini yang selama ini belum kelihatan, kerja-kerja dari aparatur keamanan untuk bisa melakukan penegakan hukum ini kadang masing hangat-hangat tahi ayam,” jelasnya.

Lantaran menganggap aturan yang mengatur seputar dunia musik sudah cukup, Wendi berpendapat rencana pembuatan UU Permusikan sebaiknya dibatalkan. UU Permusikan dinilai tidak dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan pemusik di era digital.

Rancangan beleid itu dianggapnya terbentuk tanpa proses yang demokratis dan tidak mencerminkan aspirasi para pemangku kepentingan di industri musik. Oleh sebab itu, RUU Permusikan dianggap harus dibatalkan sebelum digelarnya musyawarah musik nasional untuk membicarakan semua permasalahan di dunia permusikan Indonesia.

Wendi ingin ke depannya penegakan atas aturan-aturan yang melindungi hak-hak pemusik dilakukan dengan serius dan benar. Dia pun mempercayai keseriusan penegakan hukum dapat meningkatkan pendapatan pegiat musik di era digital.

“Jika ada aturan yang jelas, pihak pengguna lagu, dalam hal ini TV dan radio, mereka juga akan patuh untuk membayar, karena kalau tidak bayar ada sanksinya dan penegakan hukumnya. Misalnya [pelanggar] bisa dipenjara atau bayar denda. Kalau sekarang kok kelihatannya belum, masih sebatas retorika,” ucap Wendi.

Kedaulatan Musik Indonesia

Musisi Glenn Fredly menganggap digitalisasi musik yang terjadi saat ini merupakan tantangan terhadap kedaulatan musik di Indonesia. Ia memberikan pernyataan model bisnis baru wajar muncul akibat digitalisasi musik.

Oleh sebab itu, Glenn menganggap kebijakan kolektif lintas sektoral diperlukan untuk melindungi industri musik di dalam negeri.

“Artinya, kerja kolektif dan inisiatif positif dari para pelaku ekosistem musik, pemerintah, akademik serta dukungan private sector idealnya harus jalan bersama,” ujarnya kepada Bisnis.

Kerja sama antar pemangku kepentingan di industri musik disebutnya sudah wajar terjadi di negara-negara lain. Contohnya, ada investasi besar antara pemerintah, pegiat musik, dan pihak swasta untuk menumbuhkan riset dan pengembangan musik di Uni Eropa (UE).

“Itu sebabnya inovasi, riset, dan pengembangan jadi utama bila kita ingin bersaing dan diakui dunia. Politik ekonomi berperan penting dalam hal ini, dimulai dari perlindungan serta pengelolaan ekosistem musik Tanah Air,” tegas Glenn.

Perkembangan digital juga turut disinggung oleh Anang dalam pernyataannya, di mana dia menyoroti persoalan pajak di sektor musik yang saat ini banyak memanfaatkan media digital seperti YouTube dan Facebook. Belum adanya aturan atas hal ini menjadi tantangan lain yang harus dihadapi dan dirumuskan perlakuannya.

Dengan berbagai tantangan yang menggunung, baik permasalahan lama yang belum usai maupun isu baru yang harus segera dipikirkan, sejauh ini industri musik Indonesia mampu membuktikan bisa bertahan dan berkembang hingga dikenal dunia. Namun, tentu, dibutuhkan dukungan semua pihak agar gaungnya bisa makin meluas.